Monday, April 26, 2010

Apakah saya bahagia?

Kemarin saya mendapat pertanyaan dari Agung pacarnya Citra. Dia nanya, "Bahagia Wi di sana?"

Sepersekian detik saya berpikir untuk menjawab apa. Apakah saya orang yang berbahagia?

Setelah dipikir-pikir lagi, kenapa juga saya harus menjawab kalau saya tidak bahagia? Kenapa saya harus ragu-ragu untuk menjawab bahwa saya bahagia?

Hidup saya memang seperti roller coaster. Naik turun lembah dan tanjakan curam, kadang senang kadang sedih. Tapi, keseluruhan saya harus menjawab kalau saya adalah orang yang bahagia.

Saya bahagia karena saya orang yang sempurna secara fisik dan rohani. Saya memiliki keluarga yang ada di Indonesia, dimana mereka adalah rasa rindu yang selalu bisa membuat hati saya bahagia. Saya memiliki teman-teman serumah yang selalu saling mengingatkan dan berbagi makanan? Dimana makanan adalah salah satu kebahagiaan buat saya ^o^. Saya memiliki sahabat-sahabat yang tanpa saya sadari selalu ada di sekeliling saya dan saling berempati. Saya memiliki masjid dan liqa bersama sebagai tempat bernaung saat hati ini mulai keluar dari jalurnya. Saya masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan itu ada di ujung usaha manusia.

Jadi, untuk apa lagi saya ragu-ragu untuk bilang kalau saya bahagia di sini?

Tak ada kata rata-rata untuk sebuah kebahagian. Yang ada saya tidak bahagia dan saya bahagia.

Di saat kita merasa bahwa kita tidak bahagia, di saat itu pula kehidupan kita akan berputar 180° ke arah ketidakbahagiaan.

Tak perlu membandingkan diri dengan orang lain, baik agar kita merasa menjadi orang yang bahagia ataupun menjadikan diri kita orang yang tidak bahagia.

Cukup menjadikan hidup yang kita anggap biasa-biasa saja ini menjadi hidup yang bahagia.

Katakanlah, " Saya bahagia dengan kehidupan ini."

Sunday, April 4, 2010

Mündliche Prüfung WiWi

Hari itu tanggal 30 Maret 2010, saya berjalan limbung mengingat semua yang telah saya hapal. Semakin saya mengingat segalanya, semakin pula saya melupakan segalanya. Entah mengapa, sepertinya hapalan saya terhapus begitu saja dari memori otak.

Turun dari subway, saya berlari kecil menuju gedung dalam pikiran saya. Ternyata, saya salah gedung! Waktu menunjukan pukul 10.45, yang artinya 15 menit lagi giliran saya dan saya masih belum menemukan letak gedung yang saya cari.

Setengah berlari saya melihat peta dan berusaha mengerti apa dan dimana letak gedung yang saya cari. Setelah lima menit berlari, akhirnya saya menemukan gedung yang didalamnya lusuh tak terurus. Dimanakah pintu masuknya? Seseorang menyapa dan menanyakan tujuan saya. Lalu dengan tersenyum dia menyuruh saya menunggu sepuluh menit lagi. Detik-detik itu terngiyang-ngiyang di kepala saya. Tangan dan kepala menjadi tidak sejalan dan lagi-lagi saya melupakan semuanya.

Laki-laki itu datang dan tersenyum, berjongkok di depan pintu. Perempuan itu keluar dengan tersenyum dan mengatakan, "Semua akan baik-baik saja."

Saya ada didalamnya, di sebuah ruangan modern dengan lemari-lemari arsip. Prof. Erdmann di kiri saya mempersilahkan saya duduk dan Hr. Ehlers, tutor terbaik yang pernah saya punya, menutup pintu di sebelah kanan saya.

Dengan ramahnya Prof. Erdmann menyambut saya, bertanya darimana asal saya, kenapa saya tidak lulus mata kuliah yang dia ajar sebanyak dua kali, dsb. Saat kertas itu diberikan, saya tak mengerti sepatah kata pun yang dia katakan. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan saya. Dia mengerti dan dia menjelaskan sedemikian hingga sampai saya mengangguk. Pertanyaan kedua pun terlontar. Lagi-lagi saya hanya bisa diam dan berputar-putar. Saya tersedak ngeri akan kenyataan.

Dengan ramahnya dia menyuruh saya keluar sebentar selagi dia dan tutor saya itu membicarakan nilai yang akan diberikan. Saya mengucapkan selamat tinggal.

Di luar saya menunggu dan laki-laki lain menenangkan saya. Hr. Ehlers keluar dari ruangan itu, dia dengan wajah simpati berkata, "Sie haben bestanden, aber nur mit 4.0." Saat itu pula saya menyalaminya, berkata terima kasih tak terperi. "Ich wünsche Ihnen viel Erfolg bei Ihrem Studium, schaffen Sie!!", kata-kata yang terlontar dari tutor saya itu dengan wajah yang sangat bersimpati, saya bisa merasakan simpati itu.

Ya Allah, ya Rabb. Inikah jalan-Mu? Yang kembali Kau perlihatkan padaku? Dimana doa tak selalu diberikan tapi mungkin ditunda?

Ya Allah, ya Rabb. Inikah jawaban-Mu? Yang Kau berikan setelah sekian lama kutanyakan? Dimana jawaban itu selalu menantiku di ujung penantiannya?

Ya Allah, ya Rabb. Apakah aku terlambat untuk menarik semua prasangka buruk itu?



*** Kalau di dunia ini ada yang namanya buku kebaikan, ingin rasanya saya membuatnya, menuliskan semua orang-orang yang berbuat baik kepada saya. Menulisnya dengan tinta hitam agar terpatri indah di dalam buku itu. Membuat saya selalu teringat akan jasa-jasa mereka yang hanya sebesar gandum dan yang melimpah seperti sungai-sungai. Pada saatnya nanti, bila saya menjadi seseorang yang hebat, akan saya buka kembali buku kebaikan itu.

Search This Blog